SitungirNews.Id | Maria Panova (81), warga sipil, berhasil melarikan diri dari Mariupol, di Ukraina tenggara, ketika kondisi semakin mengerikan saat serangan Rusia terus berlanjut.
Kota pelabuhan strategis berpenduduk 430.000 jiwa di Laut Azov itu telah dikepung pasukan Rusia selama lebih dari 10 hari, terjadi gempuran hebat yang telah menewaskan lebih dari 2.300 orang dan membuat para penduduk berjuang mendapatkan makanan, air, pemanas, dan obat-obatan. Mayat-mayat para korban dikubur secara massal.
Baca Juga:
Bantu Rusia, Terungkap Kim Jong Un Kirim Tentara ke Ukraina
Panova berlindung selama 10 hari di basement rumah sakit jiwa sebelum berhasil keluar dari kota itu melintasi rute evakuasi. Perhentian pertamanya adalah Zaporizhzhia, kota aman terdekat di wilayah Ukraina yang jaraknya 260 kilometer.
Lelah, gemetar, dan menumpangi mobil yang rusak - beberapa dengan jendela yang hancur - warga pertama yang dievakuasi dari Mariupol yang terkepung itu menuju Zaporizhzhia pada Selasa.
Setelah menerima bantuan barang kebutuhan di sebuah gedung sirkus yang diubah untuk menampung ribuan pengungsi, warga yang dievakuasi ini naik bus lagi untuk dibawa ke daerah lainnya. Banyak yang menuju Ukraina barat, atau ke Polandia, atau negara tetangga lainnya.
Baca Juga:
Selama di Indonesia Paus Fransiskus Tak Akan Naik Mobil Mewah-Anti Peluru
Naik ke bus untuk menuju daerah lain, Panova mengatakan kepada Al Jazeera itu merupakan pengalaman "menyeramkan".
"Mengapa mereka datang ke tanah air kami? Mengapa? Mengapa mereka datang menumpahkan darah anak-anak kami?" kata Panova sambil menangis.
"Tidak ada yang meminta mereka untuk datang. Kami semua ingin hidup. Kami tidak membutuhkan mereka orang Rusia. Mengapa mereka membebankan ini pada kami," lanjutnya, dikutip dari laman Al Jazeera, Rabu (16/3).
Pejabat senior Ukraina mengatakan sekitar 20.000 orang berhasil meninggalkan Mariupol pada Selasa, evakuasi terbesar saat ini. Pada Senin, rombongan 160 mobil meninggalkan Mariupol, menurut dewan kota.
Keberhasilan evakuasi pertama terjadi setelah gagal beberapa kali sejak pasukan Rusia mengepung kota itu awal bulan ini.
Wakil kepala kantor kepresidenan Ukraina, Kyrylo Tymoshenko mengatakan di Telegram, warga yang dievakuasi meninggalkan Mariupol menggunakan mobil pribadi melalui koridor kemanusiaan yang disetuju pasukan Rusia.
Sekitar 570 dari 4.000 kendaraan yang meninggalkan Mariupol sampai di Zaporizhzhia, sementara yang lainnya bermalam di beberapa daerah di sepanjang jalan yang mereka lewati, kata Tymoshenko pada Selasa.
Tiba dalam rombongan kecil, kendaraan pribadi dengan sobekan kain putih yang diikatkan ke kaca spion sebagai tanda perdamaian menuju tempat parkir sebuah pusat perbelanjaan di pinggiran kota, yang sekarang menjadi pusat pendaftaran pengungsi.
"Ini pertama kalinya saya bisa bernapas lega selama beberapa minggu ini," kata Mykola, ayah dua anak.
Mereka yang melarikan diri menggambarkan sebuah perjalanan yang mengerikan, terpaksa menempuh jalur lain untuk menghindari tentara Rusia dan pos pemeriksaan dan menghadapi ancaman tembakan musuh yang tiada henti di jalan.
Mykola, yang menolak memberikan nama lengkapnya karena alasan keselamatan, mengatakan dia harus membawa istri dan dua anaknya melalui sebuah ladang ranjau dengan bantuan militer Ukraina.
"Ketika kami berhasil lewat, ada mobil yang terbakar. Tentara mengatakan seorang perempuan terkena ledakan setelah dia menabrak ranjau hanya satu jam sebelum kami tiba di sana," tuturnya.
Dmytro, yang tiba dengan istri dan dua anaknya di Zaporizhzhia pada Selasa, mengatakan ini adalah upaya ketiganya keluar dari Mariupol bersama keluarganya.
Sebelumnya dia gagal dan disuruh kembali oleh pasukan Rusia.
Tangannya menghitam karena kotor, Dmytro mengatakan dia belum mandi selama dua pekan dan penduduk Mariupol terpaksa minum air sungai. Dia mengaku menjarah toko untuk memberi makan anak-anak dan kakek neneknya.
"Kami tinggal di bawah tanah dan jika suhunya minus 4 derajat Celcius, itu suhu yang baik," ujarnya.
Mariupol menghadapi bencana kemanusiaan, menurut lembaga bantuan, sejak gempuran sengit Rusia membuat warga tak memiliki air mengalir maupun pemanas, dan makanan semakin menipis.
"Kadang-kadang mayat-mayat berada di jalan selama tiga hari. Baunya menguar di udara dan Anda tidak ingin anak-anak Anda menciumnya," kata Dmytro.
Pemimpin regional, Pavlo Kyrylenko mengatakan pasukan Rusia merebut rumah sakit terbesar Mariupol dan menyandera sekitar 500 orang pada Selasa malam.
Dia mengatakan pasukan tersebut memaksa sekitar 400 orang dari rumah-rumah terdekat masuk ke rumah sakit dan memanfaatkan mereka dan sekitar 100 pasien lainnya dan staf sebagai perisai manusia.
Kyrylenko mengatakan gempuran telah menghancurkan gedung utama rumah sakit, tapi staf medis merawat pasien di bangsal tenda di basement.
Aljazeera tidak bisa memverifikasi klaim ini.
Dokter dari rumah sakit lainnya di Mariupol membuat sebuah video menyampaikan pada dunia tentang kengerian yang mereka saksikan.
"Kami tidak ingin jadi pahlawan dan martir setelah meninggal," kata seorang perempuan.
Dia juga mengatakan tidak cukup menyebut kondisi orang hanya dengan "terluka".
"Tangan dan kakinya terkoyak, matanya tercungkil, tubuh tercabik-cabik, bagian dalamnya rontok," ujarnya.
Komite Internasional Palang Merah menyampaikan pada Selasa, situasi di Mariupol "masih mengerikan" dan pihaknya belum bisa mengirimkan bantuan ke kota itu.
"Intinya, ratusan ribu orang masih menderita," ujarnya. [as/qnt]