Alat ini dapat dioperasikan secara hybrid dari energi terbarukan dan menyala 24 jam, serta anti blackout. Dilengkapi dengan storage baterai lithium, alat ini juga bisa digunakan untuk mengisi daya motor listrik dan memenuhi kebutuhan listrik rumah tangga seperti kompor induksi atau alat elektronik lain.
Menurut Zainal, implementasi SuperSUN cukup sederhana dan sudah tersambung dengan gawai pelanggan sehingga dimonitoring secara online dan realtime mulai dari jaringan 2G (Edge).
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
"SuperSUN juga tidak membutuhkan operator dan lahan yang luas, biaya pengoperasiannya dan pemeliharaan juga lebih rendah," kata dia.
Kini dengan hasil uji perangkat prototipe SuperSUN pada 9 Maret 2021, hasilnya menunjukkan performa yang sangat baik di Kampung Yarweser yang menggunakan kWh meter prabayar daya 900 VA.
Kemudian, perangkat tersebut digunakan untuk pemasangan 30 calon pelanggan dengan daya terpasang 900 watt sampai dengan 2.000 watt dan membutuhkan biaya investasi sekitar Rp 370 juta.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Menurut Zainal, angka ini lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan tabung listrik dan stasiun pengisian energi listrik (SPEL), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Komunal, Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB).
Ia menambahkan, SuperSUN akan diimplementasikan di berbagai daerah mengingat masih ada 346 desa gelap gulita dan 4.061 desa pra-elektrifikasi. Ini juga sekaligus untuk mendukung program transisi energi untuk mencapai emisi nol atau net zero emission pada 2060.
"PLN bakal menerapkan inovasi SuperSUN di sejumlah wilayah secara masif karena sangat mudah dan cepat diimplementasikan," pungkas Zainal. [as/qnt]