Eksplorasi ini dilakoninya pada 2013. Sebelum merapat ke Yakutsk, Luncker menyiapkan perbekalan dan peralatan untuk bertahan hidup di kota tersebut seperti topi, sarung tangan, syal, sepatu bot, dan lainnya.
Meski dibesarkan dalam lingkungan dingin Swiss, namun Luncker dalam keseharian hidup di suhu sekitar 25 derajat Fahrenheit atau sekitar -3,89 derajat Celsius, jauh lebih hangat daripada Yakutsk.
Baca Juga:
Cuaca Dingin Finlandia Bisa Bekukan Air Mendidih di Ruang Terbuka
Setibanya di Yakutsk, Luncker merencanakan agenda harian dengan cermat agar tidak membuang-buang waktu. Bahkan dia pun tidak sempat berjalan-jalan dan berbelanja cinderamata layaknya turis kebanyakan.
"Di sini suhu dingin menentukan segalanya. Atau lebih tepatnya, cara tubuh bereaksi terhadap suhu dingin adalah yang menentukan tindakanmu," ujar Luncker.
Luncker memperhatikan bahwa penduduk setempat cenderung sering mengunjungi satu sama lain, tetapi hanya untuk beberapa menit saja.
“Mereka akan masuk, melepas lapisan pertama pakaian, minum teh panas, dan bersulang sebelum membungkus badan lagi dan melangkah keluar. Seolah-olah tempat tinggal tetangga mereka difungsikan sebagai titik estafet sepanjang perjalanan mereka,” lanjut dia.
Baca Juga:
Pacar Rahasia Diminta Bujuk Presiden Putin Sudahi Perang di Ukraina
Ketika hendak mengabadikan momen dengan memotret beberapa objek, Luncker tidak bisa menangkap objek dengan jelas karena tidak ada orang yang berlama-lama di luar bangunan.
Suasana di Yakutsk digambarkan memiliki kabut yang tebal, suhunya sangat dingin, dan menutupi sebagian besar landmark.
Menurut Luncker, kondisi itu cenderung berbahaya karena seseorang bisa tersesat. "Sangat mudah tersesat ketika Anda tidak dapat melihat suatu objek sejauh 10 meter di depan Anda, dan ketika setiap jalan menyerupai jalan berikutnya," ujar Luncker.