Tapi dalam dalam implementasinya, penetapan sebuah pembangunan lewat sektor penambangan sering kurang mempertimbangkan aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi dari masyarakat dan lebih mengutamakan dunia usaha atau korporat dan politik.
Kesaksian warga terdampak, tidak ada keterbukaan informasi terkait penambangan di awal. Pihak perusahaan melakukan politik pecah belah. Masyarakat yang pro dikarenakan ada iming-iming dari pihak perusahaan. Hak veto warga dihilangkan dan kerap sekali pemerintah masa bodoh terhadap perjuangan rakyat.
Baca Juga:
Kasus Penembakan di Solok Selatan, Polisi Cek CCTV Buat Jadi Barbuk
Hal itu menjadikan rakyat tidak bisa berharap banyak dari pemerintah untuk memberikan solusi bagi dampak maupun risiko yang ditimbulkan akibat kehadiran tambang.
Salah satunya, warga Kendeng yang menunjukkan secara online daerah yang mereka tempati, 20 tahun lalu merupakan hamparan sawah tempat warga bertani. Namun sekarang menjadi tambak. Itu disebabkan adanya penambangan semen yang membuat daerah penangkapan air menjadi hilang.
Melky Nahar, salah satu penanggap dari pengkampanye Jatam mengatakan, ketika tanah diserahkan ke perusahaan, pada saat yang sama kita sesungguhnya secara sadar menghilangkan kedaulatan kita sebagai rakyat atas tanah.
Baca Juga:
Seluruh Komoditas Produk Pertambangan yang Dikenakan Bea Keluar Alami Kenaikan Harga pada November 2024
“Jangan bangga dari petani menjadi buruh tambang. Hal yang ini sebenarnya tidak pernah dihitung dan diwacanakan kepada masyarakat bagaimana potensi kerugian yang besar, risiko yang mengorbankan lingkungan dan masyarakat," katanya.
Sementara penanggap Saur Tumiur, salah satu mantan Komnas Perempuan menyatakan, tambang sering sekali menimbulkan hal-hal baru terkhusus pada perempuan seperti gangguan kesehatan reproduksi, peningkatan kekerasan terhadap perempuan, perempuan kehilangan ruang kelola, penyakit kulit serta alih profesi.
Saur Tumiur merekomendasikan kepada masyarakat khususnya perempuan, mulai bersuara untuk terlibat dalam perundingan dan pembangunan.