Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah kasus yang didaftarkan lewat e-court, dari 47.244 kasus pada tahun 2019 menjadi 186.987 kasus pada tahun 2020.
Angka tersebut menunjukkan bahwa aksesibilitas yang diberikan melalui sarana online dapat mendorong konsumen untuk memperoleh ganti rugi dalam penyelesaian sengketa mereka.
Baca Juga:
Mudahkan Pelanggan Bayar Listrik, PLN Mobile Jalin Kolaborasi dengan MotionPay
Namun, persiapan harus dilakukan dengan baik oleh pengadilan dalam menangani lonjakan jumlah kasus yang cepat, yang dapat menyebabkan backlog kasus yang ditangani dan mengganggu sarana perlindungan konsumen.
Terkait e-commerce, PP 80 Tahun 2019 menyebutkan bahwa sengketa dapat diselesaikan secara elektronik, yang sekaligus mengakui mekanisme penyelesaian sengketa secara daring.
Sementara itu, meski penyelesaian melalui litigasi dapat menggunakan ketentuan mengenai sistem e-court, belum ada penjelasan mengenai hal ini untuk mekanisme non-litigasi.
Baca Juga:
Wamendag Roro Serahkan Penghargaan Perlindungan Konsumen 2024 kepada Para Kepala Daerah
BPSK atau lembaga alternatif lain yang juga menangani penyelesaian sengketa pun belum menggunakan mekanisme online tersebut dalam menangani sengketa.
Konsumen tetap wajib melakukan konsiliasi, mediasi, atau arbitrase melalui cara konvensional.
Hal ini sangat disayangkan. Sebab, negara-negara lain telah mengembangkan mekanisme penyelesaian sengketa secara daring (online dispute resolution) untuk lebih meningkatkan proses penyelesaian sengketa alternatif.